Minggu, 02 September 2007

BELAJAR DARI KRITIK EKONOMI EROPA AKHIR ABAD 20.


“…pada awal 1980-an, perdebatan di tingkat internasional tentang masalah pembangunan tidak lagi diwarnai pertanyaan-pertanyaan tentang “dukungan” dan “bantuan”, tetapi lebih sering dengan pertanyaan-pertanyaan tentang struktur-struktur baru. Apa yang ada dalam agenda kita (red.Sosial demokrat) sekarang adalah reorganisasi hubungan-hubungan Internasional, mendirikan suatu tantanan yang lebih baru, dan pemahaman-pemahaman komprehensip tentang problem-problem pembangunan”.
Willy Brandt .Securing Survival 1980.
Petikan pemikiran tokoh Sosial Demokrat diatas merupakan pointer atau sinyalemen berakhirnya perang dingin antara timur dan barat di kemudian hari. Kejatuhan Uni soviet dan robohnya Jerman Timur, menandai dari sekian banyak sinyalemen tersebut.
Pemikiran di dunia ditandai dengan perdebatan yang lebih realistis. Bahwa masyarakat dunia adalah masyarakat yang hidup berdampingan. Sekat-sekat Nasionalisme dan Komunisme kian pudar. Slogan-slogan dan simbol-simbol yang bombastis mau tidak mau harus juga membicarakan hal-hal yang lebiah nyata dalam kehidupan yaitu adanya dampak persaingan ekonomi di dalamnya.
Hal diatas seperti apa yang dijabarkan para ilmuan yang menjadi mainstream dalam masyarakat industri seperti yang dituliskan dalam tiori-tiori klasik Jerman seperti Karl Marx, Max Weber dan Joseph Schumpeter. Yang pada garis besarnya menyatakan perkembangan dunia sebagai sebuah pergerakan yang bersifat evolutif; dari firma kecil menuju korporasi bisnis yang besar, birokratis dan integral secara vertical dengan devisi kerja yang sangat ketat, bersih, dan garis kewenangannya yang hirarkis; batas yang jelas antara devisi yang berbeda dalam perusahaan, dan di antara perusahaan-perusahaan, pelanggannya, serta penyuplai (supplier) dari luar.
Dari struktur perkembangan evolusi diatas Profesor Massachussets Institute of Technologi (MIT) Prof. Michael J. Piore berpendapat;
Struktur baru tahun 1980-an dan 1990-an menjelaskan cara pandang tersebut setidaknya dalam dua hal. Pertama. Ekonomi tampaknya semakin tergantung pada firma kecil, baik dalam industri tradisional (industri Italia) maupun bidang teknologi tinggi (lembah Silikon atau Silikon Valley); Kedua, organisasi besar yang telah berhasil semakin terorganisir secara desentralistik dan meningkatkan keberhasilannya melalui kerja tim, rekayasa parallel, aliansi strategis, penggabungan dua perusahaan (merger), dan sebagainya. Dalam hal ini struktur kerja tradisional di tinggalkan digantikan dengan pola-pola professional.
Interpretasi Neoliberal. Tekanan justru terjadi pada perusahaan-perusahaan kecil, yang mengenjawantahkan diri mereka dalam model ekonomi yang lebih kompetitif. Dalam bentuk professional perusahaan kecil ini dalam prakteknya menimbulkan masalah seperti yang terjadi di tahun 1970-an dan 1980-an, dan makin membesar pada tahun 1990-an. Contoh kasus misalnya dalam kasus Microsoft, di mana ia tidak hanya gagal memenangkan persaingan konvensional, tentapi juga dalam berbagai hal mengalami konflik karena asumsi-asumsinya sendiri. Karena mau tak mau ia akan berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini ada aspek negatif yang tidak di perhatikan yaitu masalah perkembangan teknologi itu sendiri (hardware maupun sofeware)..
Contoh sederhana adalah perusahaan telepon selurer antara pengabungan teknologi radio dan telepon. Motorola, Matsushita, AT&T, Ericsson, Nokia dan Siemen merupakan perusahaan-perusahaan pembuat telepon tradisional yang harus mengabungkan teknologi telepon dengan rekayasa budaya radio, jelas kedua perangkat kerja kedua hal ini berbeda, oleh sebab itu diperlukan pengabungan hubungan dari keduanya.
Ekonomi Global adalah hal yang realistis? Globalisasi…adalah kekuatan-kekuatan yang terus meningkat sehingga menyentuh hampir ke setiap aspek kehidupan kita sehari-hari”. Peter D.Sutherland Direktor Jendral WTO (Word Trade Organisanization) dalam: Tantangan-tantangan Globalisasi, 1998, http/www.dc.org.
Masalah ekonomi bukan saja di dasari pada persaingan ekonomi global semata. Pada masyarakat eropa persaingan ekonomi merupakan mata rantai yang tidak dapat dipisahkan layaknya sebuah negara di dunia modern. Tinjauan social ekonominya pun dihasilkan pada tekanan masyaraka industri.
Tetapi kecendrungan yang terjadi dari pesaingan global antara para pelaku ekonomi pasar klasik yang lebih di kenal atau diterapkan oleh negara Amerika dengan model ekonomi eropa.
Dasar-dasar persaingan ekonomi global ini yang menurut bahasa Felipe Gonzalez (direktur Global Progers Comisien) mengakibatkan munculnya praktek ekonomi “kapitalisme Kasino”. Sejalan dengan perkembangan teknologi yang juga tidak lagi mengikuti logika investasi tetap tetapi investasi global (berubah).
Pada pemerintahan yang tidak didasari oleh rambu-rambu peraturan ekonomi yang lebih bersifat social dalam bentuk ide masyarakat sipil. Budaya tersebut akan mudah masuk dan merusak rambu-rambu yang diperburuk oleh para spekulan pelaku ekonomi model kasino tersebut.
Oskar Lafontaine, dalam sambutan pembukaan Internasional Conference pada tangal 17-18 Juni 1998 di Willy Brant Hous, Berlin Jerman mengemukan;
“Gelombang spekulasi merupakan hasil dari adanya suatu situasi pengaturan yang unik secara histories dan politis, di mana system rata-rata pertukaran tetap telah membuka jalan bagi spekulasi terhadap setiap mata uang.
Hal ini mengakibatkan timbulnya berbagai konsekuensi terhadap perekonomian Nasional. Jika anda penganut ekonomi pasar dan ingin memilih system pasar uang Internasional, maka konsekuensinya adalah hilangnya kontrol politik; dalam hal ini, walau bagaimanapun pasar sendirilah yang akan menyelesaikannya.”
Dari tulisan itu kita bisa belajar dari apa yang terjadi akibat krisis yang terjadi di Meksiko dan Indonesia. Pasar yang tidak dikontrol menyebabkan perkembangan negatif. Sehingga semua orang harus membayarnya dengan kehilangan yang sangat besar, termasuk hilangnya mata pencarian (pekerjaan).
Hal yang luar biasa malah terjadi pada negara-negara ekonomi pusat macam Amerika. Hal yang sangat ditentang baik secara ekonomi dan Politik oleh kalangan Democrat eropa. Seperti yang di ungkapkan Robert Kuttner, Co-Editor The American Prospect;
“Ketika Reagen dan Thatcher menggunakan sekutu-sekutunya untuk menyebarkan ideologinya dan mengubah lembaga-lembaga ekonomi serta lembaga-lembaga politik mereka maka bagi saya (Robert Kuttner), hal ini berarti pemerintah-pemerintah kiri democrat harus termotifasi untuk memenangkan kompetisi di tingkat global… Saya pikir dalam hal tersebut benua eropa, khususnya Perancis, Jerman dan Italia merupakan negara-negara yang lebih tegas terhadap neoliberalisme daripada negara-negara Anglo Saxon yang cenderung “lebih ke tengah” dan “kurang kekiri”.
Amerika sendiri tidak berpengaruh terhadap dampak persaingan itu terhadap jatuhnya penganguran yang dialami Eropa dan Asia. Hal ini dilihat dari angka penganguran dan tidak juga menaiknya pertumbuhan ekonomi. Tetapi yang terjadi di Amerika untuk mengurangi pengaguran masyarakatnya harus meningkatkan jam kerja bagi pekerjanya dan pajak. Hal yang sangat di tentang oleh masyarakat eropa.
Masyarakat Ekonomi eropa kekuatan baru di dunia.
Dari dasar-dasar dan dampak yang terjadi di eropa maupun belahan dunia manapun yang sepakat ekonomi global yang di pelopori negara-negara G7, seharusnya dibarengi pula dengan kontrol sosial dan hubungan bilateral pada negara-negara yang lebih melihat aspek-aspek social ekonomi.
IMF dan WTO sendiri yang merupakan kontrol ekonomi dunia tidak bisa melepaskan diri pada konsep-konsep ekonomi klasiknya dimana tidak juga menunjukan terjadinya pemerataan ekonomi di dunia. Penaganan terhadap Indonesia, Meksiko dan negara-begara lain yang tertimpa krisis bukannya malah memperbaiki masalah malah cenderung memperburuk masalah.
Dari hasil dimana hampir seluruh masyarakat ekonomi global terkena krisis kecuali negara-negara miskin benua Afrika yang tidak tergabung didalamnya. Ada poin-poin yang menarik yang di hasilkan dalam pertemuan “Shapin Globalisation yang diadakan oleh Tokoh-Tokoh Sosial Demokrat bekerja sama dengan Global progress Commision ini. Memberikan prospek yang lebih jelas dalam menjalankan krangka strategi dan taktik ekonomi Luar Negeri Indonesia di kemudian hari.
Kondisi subyektif dan obyektif inilah yang menyebabkan perkembangan pasar di Indonesia relatif menunggu. Tentang penanganan pemerintahan dalam negeri. Seperti yang disebutkan oscar Lafontaine… Pada dasarnya, untuk merespon globalisasi hanya mungkin dilakukan jika peraturan pemerintah di perbaiki. Dan jika praturan tersebut memuat kerangka kerja tentang fungsi pasar dan kekuatan pasar yang dapat dikendalikan. Ide neoliberalisme yang menyatakan bahwa pasar sendirilah yang akan mengatur segalanya, dan secara terus-menerus mengulangu pepatah “kesalahan-kesalahan akan di hukum oleh pasar” ide-ide ini merupakan ekspresi dari pengertian ekonomi yang didiskripsikan oleh paul Krugman (pakar ekonomi Amerika) sebagai “ketakutan pada ekonomi”. Yang dimaksud jika seseorang diberitahu . “Jika kamu tidak mengikuti garis yang telah ditentukan, maka kita akan menutup bisnis ini dan memindahkan investasi kita ke tempat lain. Kita akan pergi begitu saja dan membawa pergi modal”. Yang kita inginkan adalah motivasi ekonomi. Kita menginginkan setiap orang turut ambil bagian dalam kehidupan ekonomi berdasarkan kepercayaan dan bukan berdasarkan atas tekanan dan ketakutan. Kita tidak menginginkan adanya ekspansi kapitalisme kasino, system dimana uang digunakan untuk spekulasi dan bukan untuk di investasi pada proyek ekonomi sebenarnya.
Indonesia belajar dari Masyarakat Eropa.
Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan politik Indonesia aktif dalam masalah ekonomi global. Tantangan yang diberikan oleh Pemerintah Amerika masa Presiden Reagen dan Thatcher di Ingris. Menjadi hal yang mendesak untuk lebih cepatnya membuka perubahan dinegara-negara baru berkembang macam Indonesia.
Perbedaan Budaya inilah yang sebenarnya sangat berpengaruh terhadap perkembangan perekonomian yang terjadi di Indonesia. Salah satu yang menarik pada saat itu adalah konsep tinggal landas dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Dimana persaingan itu dimungkinkan berjalan secara fear. Kondisi-kondisi obyektif lainnya yang tidak diperhatikan. Sehingga yang terjadi di dalam negeri bukannya pemerataan ekonomi. Ditambah lagi masalah birokrasi dan KKN menyebabkan kondisi ekonomi Indonesia kian buruk.
Sedangkan kita tidak bisa, begitu saja belajar dari protek ekonomi yang dilakukan masyarakat ekonomi eropa, lewat kekuatan social demokratiknya. Jelas hal ini merupakan strategi ekonomi yang di jalankan masyarakat Eropa terhadap para spekulan yang di miliki oleh para pelaku ekonomi pusat macam Amerika. Permasalahan ekonomi inilah yang melatarbelakangi kepentingan tersebut.
Dari dua kepentingan yang berebut pasar jelas masyarakat ekonomi eropa lebih realistic untuk di libatkan dalam kerjasama global. Walaupun demikian hal ini tidak mudah. Dikarenakan rambu-rambu yang diberikan sangatlah berat. Misalahnya Masalah Lingkungan. Untuk contoh ini negara-negara eropa timur ditanguhkan ke angotaannya karena dampak polusi Industri tersebut. Selain itu yang menjadi kebijakan adalah masalah penganguran, masalah yang juga sangat dirasakan oleh negara-negara berkembang, Masalah upah kerja, dan masalah kerjasama Teknologi. Jelas yang paling krusial adalah masalah ekonomi oleh sebab itu masalah ekonomi ini menjadi perdebatan yang panjang yang dilakukan sejak tahun 80-an, Masalah penanaman Investasi inilah yang perlu diyakinkan keberadaannya pada negara yang ditanamkannya perlu diatur, dari dampak spekul selain membentuk mata uang bersama.
Dari dasar-dasar diatas pemerintahan Habibie pernah melakukan kerjasama teknologi yang juga pada akhirnya tidak menyelesaikan permasalahan dalam negeri. Oleh sebab itu aspek-aspek obyektif lewat potensi dalam negeri yang harus dikembangkan. Permasalahan nasional inilah yang mendesak Bangsa Indonesia harus segera tuntaskan. Pemerintahan Gus Dur adalah pemerintahan yang sulit dimana dia dihadapi oleh dua problem rumah tangga yang besar dalam dan luar negeri. Hal itu perlu ada kejelasan dari hasil-hasil yang didapatkan baik dari Luar dan dalam negeri. Sebentar lagi pertemuan APEC akan di lakukan di Brunai darusalam, semoga hasil yang di kemukakan tidak seperti hasil yang dijalankan pada masa pemerintahan Suharto. Ke vokalan ini jangan hanya di miliki Malaysia dalam mengkritisi para spekulan. M. Mashuri Alif
Pernah dimuat di
www.suratkabar.com

ASWAJA SEBAGAI METODE BERFIKIR



Pluralisme agama, konflik antar umat beragama atau intern umat beragama, saat ini adalah fenomena nyata. Inilah tantangan umat beragama di tengah era globalisasi. Hal ini sangat berbeda dengan kondisi masa lampau yang relatif tentram, karena umat beragama lebih terbatas ruang geraknya, terisolasi dari tantangan dunia luar. Seiring dengan perkembangan, terdapat berbagai macam pertanyaan kritis yang harus dijawab oleh agama, yang mana pertanyaan-pertanyaan yang ada kadang-kadang rancu dan merisaukan.
Kita tidak dapat mencegah munculnya pertanyaan-pertanyaan tersebut. Budaya modern yang rasionalistik dan materialistik pada satu sisi menyebabkan pola pikir manusia modern cenderung pragmatis dan materialis. Ini disebabkan oleh paradigma berpikir yang saat ini mendominasi dunia modern, yaitu paradigma Newtonian-Cartesian-Baconian (dalam bidang sains) dan ini paralel dengan paradigma Materialis-Mechanis-Reduksionis( dalam bidang sosial kemasyarakatan).
Pertanyaan yang muncul saat ini sangat terkait dengan perkembangan agama-agama baru. Ini adalah konsekwensi dari modernitas. Diantara pertanyaan-pertanyaan yang dimaksud adalah: Apabila Tuhan itu Esa, tidakkah sebaiknya agama itu tunggal? Apabila pluralisme agama tidak dapat dielakkan, maka yang mana diantara agama-agama itu yang paling benar, ataukah semuanya sesat? Mungkinkah terdapat persamaan doktrin atau persamaan tujuan diantara aneka macam agama yang ada? Dan kalau demikian halnya, bagaimana cara terbaik menjalin hubungan yang harmonis antar agama? Bahkan pada dimensi yang lebih spesifik lagi, bagaimana seharusnya agama yang saya anut dan percayai kebenarannya dapat berinteraksi dengan agama lain? Cara dan pendekatan apa yang harus saya tempuh, konfrontatif ataukah persuasif? Pada dimensi yang paling kontroversial maka akan timbul pertanyaan sebagai berikut,”mengapa aku memeluk suatu agama?”
1
Mungkin inilah pertanyaan-pertanyaan yang menantang agama-agama. Selain vital, ia juga kontroversial, karena jika dihadapkan pada otoritas dan doktrin agama yang menyatakan diri sebagai pemegang otoritas kebenaran tunggal, ia adalah sesuatu yang mengusik kemapanan, baik kemapanan institusi maupun kemapanan pikiran. Diakui atau tidak setiap agama pasti mengklaim bahwa bahwa dialah yang paling unik, ekhlusif, superior, dan paling benar. Padahal di luar bingkai agama, zaman modern membuka peluang sebebas-bebasnya bagi manusia untuk memikirkan apapun sejauh yang bisa ia pikirkan. Nilai spiritual sering kali dikalahkan dan memang tak berkutik dihadapan rasionalitas modern.
Karena cenderung beranggapan bahwa agama tertentu adalah superior, mengutip kata-kata Ulil Abshar Abdalla, maka kita akan berusaha masuk pada seluruh dimensi persoalan manusia saat ini, akibatnya, jika kita tidak menemukan rujukan yang implisit pada nash, karena pada dasarnya agama-agama berisi nilai-nilai dasar saja. Kecenderungan untuk membawa agama pada semua dimensi ruang publik persolan manusia kini justru akan mempersulit kita sendiri. Oleh karena itu yang perlu dihidupkan adalah budaya ijtihad tentang semua persoalan yang dimaksud, yang tentu saja rujukannya adalag nilai-nilai dasar yang dikandung oleh agama itu.
Akibat dari sikap defensif(enggan untuk berpikir dan bertindak kontekstual), dalam menghadapi perubahan sosial yang begitu cepat, agama(baca: agama apa saja), seringkali gagap menghadapi realitas. Tempo dari perubahan begitu cepat, dan sering kali lebih cepat dari kemampuan agama itu sendiri untuk meresponnya. Kesenjangan tempo itulah yang menyebabkan beberapa kesulitan dalam menafsir teks dalam agama itu sendiri. Akumulasi dari kesulitan-kesulitan itu, dalam kasus ekstrem akan mengakibatkan kasus ekstrem pula pada sebagian pemeluk agama yang lain, kalau tidak reaksioner ya anti pati: go to hell with the religion.
2 Mestinya harus dihindari penguasaan tafsir terhadap teks oleh segolongan umat, karena jika demikian, maka yang menguasai pola pikir kita justru lembaga agama itu, bukan agama dan segenap ajarannya itu sendiri. Karena jika dihadapkan pada persolan mutakhir, bukan tidak mungkin agama yang wataknya seperti itu akan ditinggalkan orang.
Jika kita cermati lebih jauh, ada kontradiksi antara agama sebagai pemegang otoritas tunggal kebenaran mutlak, dengan nilai-nilai yang mendamaikan, dan agama di satu sisi sebagai pemicu konflik, pertikaian antar umat beragama, dalam bingkai kehidupan berbangsa dan bernegara. Lalu pertanyaannya dalah mengapa terjadi demikian? Kenapa ada kesenjangan antara perubahan sosial dan kecepatan tempo agama dalam merespon permasalahan tersebut? Padahal agama dari ‘sana’ nya adalah pembawa pesan-pesan profetis ke arah perubahan revolusioner, ternyata yang dirasakan justru sebaliknya. Adakah kesalahan itu terletak pada substansi agama ataukah institusi/lembaga agama dan para pemegangnya? Ataukah justru perubahan itukah yang tidak sesuai dengan rel yang telah digariskan oleh agama?
Dalam konteks seperti di atas kita mengkaji bagaimana PMII, yang merupakan integrasi dari dua kesatuan yakni keislaman dan keindonesiaan. Kedua aspek ini sebetulnya sudah tersublimasi menjadi nilai nilai dasar yang di PMII kita sebut sebagai Nilai Dasar Pergerakan(NDP). Sembari kita memahami bagaimana Aswaja, yang dalam hal ini dipakai sebagai alat untuk memahami semua permasalahan yang ada. Adalah sangat penting menempatkan aswaja sebagai mainstrim, metode berijtihad, kerangka berpikir, dalam menyelesaikan permasalahan yang berbingkai pluralitas.
Kenapa Harus Aswaja sebagai Manhaj Al-Fikr
Secara umum, dalam masyarakat Islam, Ahlussunnah Wal Jama’ah telah diakui sebagai ideologi dari berbagai gerakan dan organisasi(baca: lembaga Islam).
3 Hanya saja spektrum Aswaja dipahami dengan pengertian beragam oleh berbagai kalangan/kelompok dan gerakan dalam Islam. Secara sederhana rumusan ortodoks dari Ahlussunnah Wal Jama’ah menurut jumhur ulama’ adalah sekelompok umat Islam yang berpegang teguh(mengikuti) pada ajaran Nabi Muhammad SAW, baik perkataan, perbuatan dan taqrir, serta para sahabat beliau. Secara lebih spesifik, Dr. Jalal M. Moesa, mengemukakan bahwa Aswaja adalah cara hidup mengikuti Nabi Muhammad, para Sahabat, dan para Tabi’in, dalam berserah diri menghadapi masalah-masalah mutasyabihat(ayat-ayat berdimensi ganda) yang terdapat dalam Al-Qur’an, dan menyerahkan hakekat artinya pada Allah SWT sendiri, tidak suka mengembangkan pengertian metaforis(ta’wil) seperti kebiasaan Mu’tazilah.4 Rumusan ini diakui atau tidak akan membelenggu jutaan ummat muslim sejak dicetuskannya genre teologi Islamabad ke-4 dan 5 H) yang dotopang oleh muatan dan otoritas politik yang berkuasa saat itu dengan bnerdasarkan pada hadits tentang terpecahnya umat Islam menjadi 73 firqoh, semuanya masuk neraka kecuali satu yang masuk surga, yakni mereka yang tergolong Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Dalam konteks kontemporer, konsepsi definitif seperti itu hanyalah melahirkan kalim kebenaran(truth claim) hingga melahirkan ketegangan yang tak pernah usai dari berbagai kelompok pemahaman yang ada di Islam> Semua berebut mengaku dirinya sunny(pemelik otoritas tunggal tafsir teks dan doktrin). Terlebih lagi di dalam masyarakat muslim telah terbentuk building image bahwa sunny merupakan simbol dari kejumudan pemikiran. Lambang keterbelakangan, kolot, serta stigma-stigma lain yang bernada psimis terhadap masa depan sunny. Tragisnya hal ini dilegitimasi oleh oleh konsepsi Aswaja seperti di atas yangsangat ekhlusif, terbatas, serta kental dengan bias-bias kepentingan hegemonik(politik, sosial) dari beberapa kelompok Islam di seluruh dunia.
Oleh karena itu, kebutuhan primer untuk mengatasi masalah di atas adalah upaya mengkaji ulang dengan mereformulasi konsepsi Aswaja sebagai upaya-upaya dekonstruksi terhadap kejumudan dan ortodoksi yang diakibatkannya beberapa abad terakhir. Perlu dipahami bahwa upaya ini bukanlah hendak merobohkan bangunan tradisi yang telah terbangun sejak ratusan tahun yang lampau, tetapi dekonstruksi lebih ditujukan sebagai pembacaan ulang terhadap khazanah dan tradisi Islam klasik. Terlebih lagi untuk menghadapkan Aswaja pada masalah-masalah pluralisme beragama, pelanggaran HAM, gender, demokrasi, dan masalah kemanusiaan launnya. Jadi, Aswaja sebagai landasan gerak, sumber motivasi dan dasar berpikir(ideologis) dari gerakan kaum sunny akan selalu menemukan signifikansinya yang strategis dalam menjawab persoalan-persoalan keagamaan, kemanusiaan, serta fungsi dirinya(agama) dalam upayah mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil alamiin.
Aswaja sebagai manhaj al fikr hendaklah memiliki kerangka metodologis yang bersifat proses dan tetap berkarakter Islami. Di Indonesia, khususnya yang dikembangkan oleh PMII, yang pertama kali memperkenalkan metode ini adalah Dr. Said Aqil Siradj, yang dalam berpikir beliau banyak mengacu pada pemikir-pemikir modern Arab saat ini seperti Mohammed Abed Al-Jabiri, Moh. Arkoun, Abu Zayd, Asghar Ali E. , Hassan Hanafi, dan sebagainya. Menurut Dr. Said Aqil, yang dimaksud dengan metode berpikir Aswaja adalah “metode berpikir keagamaan yang semua aspek kehidupan yang berlandaskan asas-asas moderasi, menjaga keseimbangan, berpikir lurus dan toleran.”
5 Dengan pemaknaan Aswaja seperti ini diharapkan memberikan kesempatan yang luas kepada umatnya untuk melakukan kreasi-kreasi orisinil dan inovatif sesuai denagn perkembangan zaman yang mereka hadapi. Pada titik ini, doktrin agama tetap dilihat sebagai pesan suci, dan berbekal akal pikiran, mereka melakukan eksperimentasi dalam tindakan sosial. Dapatkah kemudian antara pesan suci agama dan tindak sosial ini dipadukan, sehingga memiliki kedalaman makna filosofis dan bangunan ideologis yang. Pertanyaan inilah yang sesungguhnya sudah sekian lama mengusik alam bawa sadar generasi mudah NU, dan terutama PMII. Dengan berbekal metode berpikir Aswaja, doktrin universal agama tersebut dicoba ditransformasikan dalam ekspresi sosial.6
Pemahaman Aswaja sebagai metode berpikir, bukan madzhab harus menjadi titik awal kerangka berfikir dalam menggali hukum(syari’ah). Dengan menggunakan doktrin Aswaja dalam kerangka manhaj al-fikr, yang dalam konteks sosial kemasyarakatan berpangkal pada landasan pokok yakni tawasuth(bersikap tengah), tasamuh(toleran), tawazun(netral), dan I’tidal(berpikir lurus/seimbang). Kemoderatan aswaja terletak pada pengambilan posisi yang tidak menafikan akal dan semata-mata menggunakan nash(wahyu) dalam setiap pengambilan hukum. Sikap netral mereka tampakkan dalam aras politik. Artinya mereka bersikap akomodatis dan suatu saat bersifat revolusioner-konfrontatif terhadap rezim yang berkuasa. Sikap keseimbangan mereka manifestasikan dalam kehidupan sosial, cara bergaul dalam kondidi sosial budaya mereka. Begitu juga sikap toleransi yang ditampakkan dalam penghormatan terhadap pluralitas pemahaman, agama, dan prilaku sosial yang santun dalam memandang pluralitas dan menghormati hak-hak minoritas.
Jadi, sebagai kerangka berfikir, Aswaja hendaknya menggunakan empat prinsip dasar tadi sebagai dasar bersikap dan hidup dalam pluralitas. Disamping itu harus pula dijunjung tinggi nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Islam yakni: keadilan(al-‘adalah), kemerdekaan(hurriyah), musyawarah(syura), persamaan(ukhuwah), dan maslahah mursalah.
Dalam diskursus semacam inilah Aswaja harus dibacah ulang, secara terus-menerus sesuai dengan konteks sosial politik, serta kebudayaan yang akan selalu berubah. Jika tidak, maka Aswaja hanyalah gugusan nilai-nilai luhur yang mati, tidak membumi, dan mandul dalam transformasi sosialnya.
Ini semua akan dibatasi oleh mainstrim, bahwa yang kita lakukan tidak bertentangan hak-hak asasi manusi. Sesuai dengan tujuan diturunkannya syari’ah yaitu memelihara hak beragama, memelihara kebebasan berfikir, memelihara harta/kekayaan, memelihara keluarga/martabat, dan memelihara hak hidup/kehormatan diri. Semua baru bisa kita terapkan dalam kehidupan nyata ketika kita tidak dibayang-bayangi oleh intervensi negara dan penguasaan tafsir atas agama. Akhirnya elan vital aswaja terletak pada ketika ia didesakralisasikan dan terbuka terhadap interpretasi tradisi dimana aswaja muncul. Inila sekelumit tentang bagaimana konsep aswaja sebagai metode berpikir dalam praksis sosial kemasyarakatan. Wallahu a’lamubisshowab
1 Shihab, Alwi., 1997, Islam Inklusif, Mizan, Bandung hal 40.
2 Muspim PB PMII, 1999, Aswaja sebagai Manhaj Al-Fikr, hal 23.
3 Di Indonesia Aswaja telah menjadi ideologi berbagai ormas keagamaan, seperti NU, Muhammadiyah pun secara implisit mengakui ini, Persis(sunny minus madzhab), dan Perti(sunni berwajah Ibnu Taimiyah dan Wahabi).
4 Sedangkan di kalangan Islam sunny mendefinisikan Aswaja lebih spesifik lagi dengan menyatakan bahwa Aswaja adalah mereka yang berteologi mengikuti teologinya Asy’ariyah dan Maturidiyah, berfiqih mengikuti salah satu dari Imam Madzhab Empat, serta mengikuti Imam Qasim Al Junaidy Al-Baghdadi dan Al-Ghozali dalam sisi tasawufnya.
5 Siradj, Said Aqil., 1990, Aswaja dalam Lintas Sejarah, LKPSM-NU, Yogyakarta, hal 20.
6 Alaena, Badrun., 2000. Tiara Wacana, Yogyakarta, hal 4.