Minggu, 02 September 2007

ASWAJA SEBAGAI METODE BERFIKIR



Pluralisme agama, konflik antar umat beragama atau intern umat beragama, saat ini adalah fenomena nyata. Inilah tantangan umat beragama di tengah era globalisasi. Hal ini sangat berbeda dengan kondisi masa lampau yang relatif tentram, karena umat beragama lebih terbatas ruang geraknya, terisolasi dari tantangan dunia luar. Seiring dengan perkembangan, terdapat berbagai macam pertanyaan kritis yang harus dijawab oleh agama, yang mana pertanyaan-pertanyaan yang ada kadang-kadang rancu dan merisaukan.
Kita tidak dapat mencegah munculnya pertanyaan-pertanyaan tersebut. Budaya modern yang rasionalistik dan materialistik pada satu sisi menyebabkan pola pikir manusia modern cenderung pragmatis dan materialis. Ini disebabkan oleh paradigma berpikir yang saat ini mendominasi dunia modern, yaitu paradigma Newtonian-Cartesian-Baconian (dalam bidang sains) dan ini paralel dengan paradigma Materialis-Mechanis-Reduksionis( dalam bidang sosial kemasyarakatan).
Pertanyaan yang muncul saat ini sangat terkait dengan perkembangan agama-agama baru. Ini adalah konsekwensi dari modernitas. Diantara pertanyaan-pertanyaan yang dimaksud adalah: Apabila Tuhan itu Esa, tidakkah sebaiknya agama itu tunggal? Apabila pluralisme agama tidak dapat dielakkan, maka yang mana diantara agama-agama itu yang paling benar, ataukah semuanya sesat? Mungkinkah terdapat persamaan doktrin atau persamaan tujuan diantara aneka macam agama yang ada? Dan kalau demikian halnya, bagaimana cara terbaik menjalin hubungan yang harmonis antar agama? Bahkan pada dimensi yang lebih spesifik lagi, bagaimana seharusnya agama yang saya anut dan percayai kebenarannya dapat berinteraksi dengan agama lain? Cara dan pendekatan apa yang harus saya tempuh, konfrontatif ataukah persuasif? Pada dimensi yang paling kontroversial maka akan timbul pertanyaan sebagai berikut,”mengapa aku memeluk suatu agama?”
1
Mungkin inilah pertanyaan-pertanyaan yang menantang agama-agama. Selain vital, ia juga kontroversial, karena jika dihadapkan pada otoritas dan doktrin agama yang menyatakan diri sebagai pemegang otoritas kebenaran tunggal, ia adalah sesuatu yang mengusik kemapanan, baik kemapanan institusi maupun kemapanan pikiran. Diakui atau tidak setiap agama pasti mengklaim bahwa bahwa dialah yang paling unik, ekhlusif, superior, dan paling benar. Padahal di luar bingkai agama, zaman modern membuka peluang sebebas-bebasnya bagi manusia untuk memikirkan apapun sejauh yang bisa ia pikirkan. Nilai spiritual sering kali dikalahkan dan memang tak berkutik dihadapan rasionalitas modern.
Karena cenderung beranggapan bahwa agama tertentu adalah superior, mengutip kata-kata Ulil Abshar Abdalla, maka kita akan berusaha masuk pada seluruh dimensi persoalan manusia saat ini, akibatnya, jika kita tidak menemukan rujukan yang implisit pada nash, karena pada dasarnya agama-agama berisi nilai-nilai dasar saja. Kecenderungan untuk membawa agama pada semua dimensi ruang publik persolan manusia kini justru akan mempersulit kita sendiri. Oleh karena itu yang perlu dihidupkan adalah budaya ijtihad tentang semua persoalan yang dimaksud, yang tentu saja rujukannya adalag nilai-nilai dasar yang dikandung oleh agama itu.
Akibat dari sikap defensif(enggan untuk berpikir dan bertindak kontekstual), dalam menghadapi perubahan sosial yang begitu cepat, agama(baca: agama apa saja), seringkali gagap menghadapi realitas. Tempo dari perubahan begitu cepat, dan sering kali lebih cepat dari kemampuan agama itu sendiri untuk meresponnya. Kesenjangan tempo itulah yang menyebabkan beberapa kesulitan dalam menafsir teks dalam agama itu sendiri. Akumulasi dari kesulitan-kesulitan itu, dalam kasus ekstrem akan mengakibatkan kasus ekstrem pula pada sebagian pemeluk agama yang lain, kalau tidak reaksioner ya anti pati: go to hell with the religion.
2 Mestinya harus dihindari penguasaan tafsir terhadap teks oleh segolongan umat, karena jika demikian, maka yang menguasai pola pikir kita justru lembaga agama itu, bukan agama dan segenap ajarannya itu sendiri. Karena jika dihadapkan pada persolan mutakhir, bukan tidak mungkin agama yang wataknya seperti itu akan ditinggalkan orang.
Jika kita cermati lebih jauh, ada kontradiksi antara agama sebagai pemegang otoritas tunggal kebenaran mutlak, dengan nilai-nilai yang mendamaikan, dan agama di satu sisi sebagai pemicu konflik, pertikaian antar umat beragama, dalam bingkai kehidupan berbangsa dan bernegara. Lalu pertanyaannya dalah mengapa terjadi demikian? Kenapa ada kesenjangan antara perubahan sosial dan kecepatan tempo agama dalam merespon permasalahan tersebut? Padahal agama dari ‘sana’ nya adalah pembawa pesan-pesan profetis ke arah perubahan revolusioner, ternyata yang dirasakan justru sebaliknya. Adakah kesalahan itu terletak pada substansi agama ataukah institusi/lembaga agama dan para pemegangnya? Ataukah justru perubahan itukah yang tidak sesuai dengan rel yang telah digariskan oleh agama?
Dalam konteks seperti di atas kita mengkaji bagaimana PMII, yang merupakan integrasi dari dua kesatuan yakni keislaman dan keindonesiaan. Kedua aspek ini sebetulnya sudah tersublimasi menjadi nilai nilai dasar yang di PMII kita sebut sebagai Nilai Dasar Pergerakan(NDP). Sembari kita memahami bagaimana Aswaja, yang dalam hal ini dipakai sebagai alat untuk memahami semua permasalahan yang ada. Adalah sangat penting menempatkan aswaja sebagai mainstrim, metode berijtihad, kerangka berpikir, dalam menyelesaikan permasalahan yang berbingkai pluralitas.
Kenapa Harus Aswaja sebagai Manhaj Al-Fikr
Secara umum, dalam masyarakat Islam, Ahlussunnah Wal Jama’ah telah diakui sebagai ideologi dari berbagai gerakan dan organisasi(baca: lembaga Islam).
3 Hanya saja spektrum Aswaja dipahami dengan pengertian beragam oleh berbagai kalangan/kelompok dan gerakan dalam Islam. Secara sederhana rumusan ortodoks dari Ahlussunnah Wal Jama’ah menurut jumhur ulama’ adalah sekelompok umat Islam yang berpegang teguh(mengikuti) pada ajaran Nabi Muhammad SAW, baik perkataan, perbuatan dan taqrir, serta para sahabat beliau. Secara lebih spesifik, Dr. Jalal M. Moesa, mengemukakan bahwa Aswaja adalah cara hidup mengikuti Nabi Muhammad, para Sahabat, dan para Tabi’in, dalam berserah diri menghadapi masalah-masalah mutasyabihat(ayat-ayat berdimensi ganda) yang terdapat dalam Al-Qur’an, dan menyerahkan hakekat artinya pada Allah SWT sendiri, tidak suka mengembangkan pengertian metaforis(ta’wil) seperti kebiasaan Mu’tazilah.4 Rumusan ini diakui atau tidak akan membelenggu jutaan ummat muslim sejak dicetuskannya genre teologi Islamabad ke-4 dan 5 H) yang dotopang oleh muatan dan otoritas politik yang berkuasa saat itu dengan bnerdasarkan pada hadits tentang terpecahnya umat Islam menjadi 73 firqoh, semuanya masuk neraka kecuali satu yang masuk surga, yakni mereka yang tergolong Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Dalam konteks kontemporer, konsepsi definitif seperti itu hanyalah melahirkan kalim kebenaran(truth claim) hingga melahirkan ketegangan yang tak pernah usai dari berbagai kelompok pemahaman yang ada di Islam> Semua berebut mengaku dirinya sunny(pemelik otoritas tunggal tafsir teks dan doktrin). Terlebih lagi di dalam masyarakat muslim telah terbentuk building image bahwa sunny merupakan simbol dari kejumudan pemikiran. Lambang keterbelakangan, kolot, serta stigma-stigma lain yang bernada psimis terhadap masa depan sunny. Tragisnya hal ini dilegitimasi oleh oleh konsepsi Aswaja seperti di atas yangsangat ekhlusif, terbatas, serta kental dengan bias-bias kepentingan hegemonik(politik, sosial) dari beberapa kelompok Islam di seluruh dunia.
Oleh karena itu, kebutuhan primer untuk mengatasi masalah di atas adalah upaya mengkaji ulang dengan mereformulasi konsepsi Aswaja sebagai upaya-upaya dekonstruksi terhadap kejumudan dan ortodoksi yang diakibatkannya beberapa abad terakhir. Perlu dipahami bahwa upaya ini bukanlah hendak merobohkan bangunan tradisi yang telah terbangun sejak ratusan tahun yang lampau, tetapi dekonstruksi lebih ditujukan sebagai pembacaan ulang terhadap khazanah dan tradisi Islam klasik. Terlebih lagi untuk menghadapkan Aswaja pada masalah-masalah pluralisme beragama, pelanggaran HAM, gender, demokrasi, dan masalah kemanusiaan launnya. Jadi, Aswaja sebagai landasan gerak, sumber motivasi dan dasar berpikir(ideologis) dari gerakan kaum sunny akan selalu menemukan signifikansinya yang strategis dalam menjawab persoalan-persoalan keagamaan, kemanusiaan, serta fungsi dirinya(agama) dalam upayah mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil alamiin.
Aswaja sebagai manhaj al fikr hendaklah memiliki kerangka metodologis yang bersifat proses dan tetap berkarakter Islami. Di Indonesia, khususnya yang dikembangkan oleh PMII, yang pertama kali memperkenalkan metode ini adalah Dr. Said Aqil Siradj, yang dalam berpikir beliau banyak mengacu pada pemikir-pemikir modern Arab saat ini seperti Mohammed Abed Al-Jabiri, Moh. Arkoun, Abu Zayd, Asghar Ali E. , Hassan Hanafi, dan sebagainya. Menurut Dr. Said Aqil, yang dimaksud dengan metode berpikir Aswaja adalah “metode berpikir keagamaan yang semua aspek kehidupan yang berlandaskan asas-asas moderasi, menjaga keseimbangan, berpikir lurus dan toleran.”
5 Dengan pemaknaan Aswaja seperti ini diharapkan memberikan kesempatan yang luas kepada umatnya untuk melakukan kreasi-kreasi orisinil dan inovatif sesuai denagn perkembangan zaman yang mereka hadapi. Pada titik ini, doktrin agama tetap dilihat sebagai pesan suci, dan berbekal akal pikiran, mereka melakukan eksperimentasi dalam tindakan sosial. Dapatkah kemudian antara pesan suci agama dan tindak sosial ini dipadukan, sehingga memiliki kedalaman makna filosofis dan bangunan ideologis yang. Pertanyaan inilah yang sesungguhnya sudah sekian lama mengusik alam bawa sadar generasi mudah NU, dan terutama PMII. Dengan berbekal metode berpikir Aswaja, doktrin universal agama tersebut dicoba ditransformasikan dalam ekspresi sosial.6
Pemahaman Aswaja sebagai metode berpikir, bukan madzhab harus menjadi titik awal kerangka berfikir dalam menggali hukum(syari’ah). Dengan menggunakan doktrin Aswaja dalam kerangka manhaj al-fikr, yang dalam konteks sosial kemasyarakatan berpangkal pada landasan pokok yakni tawasuth(bersikap tengah), tasamuh(toleran), tawazun(netral), dan I’tidal(berpikir lurus/seimbang). Kemoderatan aswaja terletak pada pengambilan posisi yang tidak menafikan akal dan semata-mata menggunakan nash(wahyu) dalam setiap pengambilan hukum. Sikap netral mereka tampakkan dalam aras politik. Artinya mereka bersikap akomodatis dan suatu saat bersifat revolusioner-konfrontatif terhadap rezim yang berkuasa. Sikap keseimbangan mereka manifestasikan dalam kehidupan sosial, cara bergaul dalam kondidi sosial budaya mereka. Begitu juga sikap toleransi yang ditampakkan dalam penghormatan terhadap pluralitas pemahaman, agama, dan prilaku sosial yang santun dalam memandang pluralitas dan menghormati hak-hak minoritas.
Jadi, sebagai kerangka berfikir, Aswaja hendaknya menggunakan empat prinsip dasar tadi sebagai dasar bersikap dan hidup dalam pluralitas. Disamping itu harus pula dijunjung tinggi nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Islam yakni: keadilan(al-‘adalah), kemerdekaan(hurriyah), musyawarah(syura), persamaan(ukhuwah), dan maslahah mursalah.
Dalam diskursus semacam inilah Aswaja harus dibacah ulang, secara terus-menerus sesuai dengan konteks sosial politik, serta kebudayaan yang akan selalu berubah. Jika tidak, maka Aswaja hanyalah gugusan nilai-nilai luhur yang mati, tidak membumi, dan mandul dalam transformasi sosialnya.
Ini semua akan dibatasi oleh mainstrim, bahwa yang kita lakukan tidak bertentangan hak-hak asasi manusi. Sesuai dengan tujuan diturunkannya syari’ah yaitu memelihara hak beragama, memelihara kebebasan berfikir, memelihara harta/kekayaan, memelihara keluarga/martabat, dan memelihara hak hidup/kehormatan diri. Semua baru bisa kita terapkan dalam kehidupan nyata ketika kita tidak dibayang-bayangi oleh intervensi negara dan penguasaan tafsir atas agama. Akhirnya elan vital aswaja terletak pada ketika ia didesakralisasikan dan terbuka terhadap interpretasi tradisi dimana aswaja muncul. Inila sekelumit tentang bagaimana konsep aswaja sebagai metode berpikir dalam praksis sosial kemasyarakatan. Wallahu a’lamubisshowab
1 Shihab, Alwi., 1997, Islam Inklusif, Mizan, Bandung hal 40.
2 Muspim PB PMII, 1999, Aswaja sebagai Manhaj Al-Fikr, hal 23.
3 Di Indonesia Aswaja telah menjadi ideologi berbagai ormas keagamaan, seperti NU, Muhammadiyah pun secara implisit mengakui ini, Persis(sunny minus madzhab), dan Perti(sunni berwajah Ibnu Taimiyah dan Wahabi).
4 Sedangkan di kalangan Islam sunny mendefinisikan Aswaja lebih spesifik lagi dengan menyatakan bahwa Aswaja adalah mereka yang berteologi mengikuti teologinya Asy’ariyah dan Maturidiyah, berfiqih mengikuti salah satu dari Imam Madzhab Empat, serta mengikuti Imam Qasim Al Junaidy Al-Baghdadi dan Al-Ghozali dalam sisi tasawufnya.
5 Siradj, Said Aqil., 1990, Aswaja dalam Lintas Sejarah, LKPSM-NU, Yogyakarta, hal 20.
6 Alaena, Badrun., 2000. Tiara Wacana, Yogyakarta, hal 4.

Tidak ada komentar: